Selasa, 29 Oktober 2013

Pensil Warna

"Aku kembaliii.." teriak ku seperti biasanya, menyapa semua pensil warna yg berdiri ditempatnya masing-masing.
Tidak, aku tidak gila karena baru saja berbicara dengan benda-benda mati!
Ini hanya sebuah istilah. Pensil warna yg ku maksud adalah teman-teman kantorku.
Setiap jumat, aku memang selalu bekerja 3 stengah jam lebih awal dari mereka.

Jam setengah 6 pagi dengan mata sayu-sayu aku sudah harus merapat di kantor. Rutinitas ini sudah kulakukan hampir 6 bulan, semenjak aku diterima kerja sebagai producer acara radio show yg live setiap jumat pagi.

Perutku keroncongan sembari lari sana sini mempersiapkan ini itu. Tidak sempat sarapan yg berbobot, hanya 2 butir telur rebus dan segelas susu yg bisa kujadikan sesajen untuk cacing-cacing di perut. Sayangnya sesajen itu hanya mampu bertahan kurang dari setengah jam saja. Dan setelahnya, semua cacing kepanasan tadi akan berevolusi menjadi naga ganas yg lebih kuat mencengkram dinding perutku.

Nasib memang! Tapi tidak mengapa, mungkin ini harga yg harus kubayar dari pengalaman yg mahal ini.

Sebelumnya, aku tidak pernah terpikir akan bertemu dengan banyak orang penting, banyak tokoh-tokoh berpengaruh, atau banyak tokoh sukses. Tapi kini hampir setiap minggu aku mendapatkan kesempatan emas itu.

Sebelumnya aku tidak tau siapa itu Chris Gardner, tidak pernah terpikir akan terpesona dengan senyuman Ade Rai, tidak pernah membayangkan akan bertemu dengan orang Thailand, pembuat cemilan yg suka ku makan di sevel.

Sebelumnya aku tidak pernah berandai-andai sejauh itu. Tapi aku mengalaminya tanpa harus bersusah payah membuat janji, membeli tiket pesawat ke luar negeri atau menjadi orang terpenting di dunia agar mereka mau menemuiku.

Aku bersyukur!

Setahun lalu aku masih menangis diatas motor, merasa lelah tiap kali harus menghadapi setiap pagi, karena aku tau penderitaanku masih berlanjut.

Setahun yg lalu ketika aku bisa lepas dari orang yg membuatku sakit, aku bersusah payah mencari lagi arah balik, kembali ke jalan seharusnya aku berjalan.

Setahun yg lalu aku memutuskan untuk melamar pekerjaan ditempat yg kuyakini bisa menjadi klinik penyembuh mentalku.

Dan yg kuyakini itu tepat. Mentalku kini tidak bobrok seperti tahun lalu. Ini karena lingkunganku yang membuat aku tidak punya alasan yang kuat untuk bersedih. Ini berkat semua pensil warnaku.

Aku bertemu mereka bukan karena keajaiban. Tapi karena anugerah. Karunia dari Tuhan yg prihatin dengan kertas hidupku yg sudah penuh dengan warna hitam.
Kertas hidupku yang dulunya suram, tak menarik, tak ada tanda-tanda kehidupan, dan sudah layak dilempar ke tong sampah.

Kini, hidupku lebih bergairah dari sebelumnya.
Karena mereka aku berani menerima semua warna yg mungkin akan mampir untuk menyumbang goretan di kertas hidupku.

Kalau aku akan keluar kantor, pensil warnaku akan berteriak..
"jojo tolong tinggalkan aura happy mu disini.."

Kalau mereka sedang suntuk, mereka akan teriak..
"jooo.. Transfer aura happymu ke kita."

Kalau aku bertanya "haruskah?" mereka akan menjawabnya dengan berteriak...
"soalnya kalau deket jojo jadi ketularan aura happynya"

Tanpa mereka sadar, karena goretan yg mereka berikan di atas kertas hidupku, menjadikanku seperti sekarang ini.

Si Merah muda
Dari antara semua pensil warna yg ku ceritakan disini, si merah muda lah yg paling banyak menghabiskan waktu bersamaku. Si penyayang, penghibur semangat yg patah, pendengar yg baik, tapi kejam kalau lagi serius (karena tatapan matanya bisa membuatku kerdil seperti kurcaci)

Si kuning
Si kuning yg jarang sekali manyun. Bahkan ku rasa si kuning ini tak mengerti cara melengkungkan wajahnya menjadi mengkerut. Si kuning yg periang yg membuatku extra waspada kalau suatu hari dia menjadi marah. Karena biasanya, orang yg jarang marah akan 100x lipat lebih bahaya ketika emosinya lepas landas.

Si merah
Si merah yg selalu pakai baju merah. Yg tidak pernah kehabisan bahan pembicaraan, yg bisa berubah menjadi serius dalam waktu yg singkat, yg berani menyuarakan pendapat, yg terang-terangan menunjukkan ketidaksukaannya, yg kalau di landa amarah matanya bisa mau lompat keluar.

Si cokelat
Kalau melihat si cokelat, air liur ku rasanya mau tumpah. Karena si cokelat membuatku berimajinasi tentang segumpal cokelat padat besar yg enak dimakan. Si cokelat yg sederhana, berprinsip dan tegas, cinta keluarga, dan suka berimajinasi liar.

Si Ungu
Kata dunia, ini warna janda. Tapi menurutku ini warna yg lumayan unik, seperti perpaduan antara pink, merah, kuning. Tak terlalu yakin sih dengan kolaborasi warna yg ku deskripsikan tadi, tapi kurasa hasilnya akan mirip dengan warna ungu (walau maksa). Humoris tapi bisa sensitif disaat yg bersamaan juga moody. Aku lebih suka menyebutnya dengan anak abon, karena makan siang rutin si ungu adalah abon ditambah nasi.

Warna warna mereka yg tertoreh pada kertas hidupku makin menyempurnakan alasan untuk menjalani hari-hari ini tanpa rasa sesal.


Ini baru sebagian warna yg ku gambarkan dalam tulisan.
Bagaimana kalau ku sebutkan satu persatu warna lain yg berperan besar atas hidupku?
Mungkin tulisan ini akan setebal skripsi yg pernah ku susun selama 2 tahun.

Hidupku memang tak sempurna, tapi aku yakin kalau hidupku layak untuk di syukuri.

Ketika baru saja terluka aku menantang diri untuk melawan kepahitan diri dengan energi yang sebaliknya.
Kata orang, jangan makan gorengan kalau batuk. Tapi kataku, batuk jangan dimanja, hajar gorengan biar cepet sembuh.

Kepahitan hati yg ku alami ini, ku anggap seperti penyakit. Yg jika kubiarkan lama bersarang ditubuh, akan menggerogoti semua dagingku perlahan-lahan sampai tinggal tersisa kulit.

Saat aku tau aku sedang bersedih aku berperang untuk melawannya dengan berbahagia.
Seberapa besar rasa sedihku, sebesar itu juga aku harus bahagia.
Itulah alasan aku membuattrand mark "always happy" dalam hidup sebagai harga mati!

Tidak mudah memang. Ketika sakit aku memang sewajarnya menangis, itu yg lebih manusiawi. Tapi terkadang perubahan itu memang harus dipaksakan. Karena, tidak ada yg 100% berubah kalau hal itu masih bisa di toleransi.

Itu sebabnya ketika lagi-lagi aku merasa sedih, aku ingat harus always happy. Ini seperti dorongan paksa yg mempush diriku untuk menjadi pribadi yg lebih kuat.

Ditambah lagi, pensil-pensil warna yg selalu mengingatkan tentang harga matiku. Mungkin merekalah yg merasa aku sumber energi bahagia. Tapi sebaliknya, justru merekalah yg membuatku berbahagia, merasa dicintai, dihargai, dimengerti.

Bukan mereka yg beruntung punya teman seperti aku.
Tapi akulah yg beruntung bertemu dengan mereka yang luar biasa.

Ketika orang bertanya, bagaimana aku bisa selalu berbahagia seperti ini?

Aku akan selalu menjawabnya seperti ini..

Terima kasih untuk pensil-pensil warna merah, kuning, merah muda, ungu, cokelat, dan warna yg lain. Karena kalian, gambar hidupku jadi sempurna.

Terima kasih juga untuk si warna hitam, yg pernah membuat gambar hidupku menjadi tidak menarik untuk dilirik. Karena si hitam aku jadi mengerti indahnya jika hidup dikelilingi dengan warna warna lain. Karena si hitam, aku sadar bahwa aku lebih suka warna terang daripada warna kelam.

Terima kasih hitam. Aku tau kamu bukanlah warna yg perlu kusesali. Aku sadar warnamu tidak tercipta untuk mengisi hidupku, tapi warnamu tercipta hanya untuk mempertegas kertas hidupku. Kertas hidup yg seharusnya kuisi dengan goretan pensil-pensil warna lain.

Terima kasih ya pensil warna ^^