Selasa, 14 Februari 2012

My Little Brother, Please Grow Up (Part 5)



Lee tumbuh menjadi anak yang sangat pintar, aku bangga sekali padanya. Kata guru di sekolahnya, dia aktif dan mudah bergaul dengan teman-temannya, dia juga mendapat peringkat 1 di kelas.

Saat Lee kelas 2 SMP, paman meninggal karena serangan jantung. Paman yang baik hati itu meninggalkan kami sejumlah uang, yang diam-diam ditabungnya di bank untuk kami berdua. Uang sewa toko sekaligus yang selama ini menjadi tempat tinggal kami, harganya mahal sekali. Jadi aku memutuskan untuk menyewa rumah petakan yang lebih murah. Saat itu, umurku 20 tahun.


Aku lalu bekerja menjadi pelayan di sebuah restoran. Aku harus bekerja sangat keras sekali disana. Siangnya aku akan mencuci piring, mengepel lantai, dan mengantarkan makanan ke meja pelanggan. Malamnya aku akan mencari uang tambahan dengan menemani para tamu minum bir. Uang tipsnya lumayan, bisa ku pakai untuk uang saku Lee selama sekolah. Suatu hari, saat malam tahun baru, aku mendengar berita mengejutkan dari seorang teman kerjaku..

“Sisiiiiiiiiiiiii, gawattttt... gawattt..”
“Ada apa?” tanyaku sambil menyusun piring yang tengah ku cuci.
“Barusan kantor polisi menelepon ke restoran. Dia bilang, adikmu ditabrak lari sebuah mobil dan sedang dibawa ke rumah sakit.”
“Apaaaa???”
“Cepatlah kesana..”

...


Aku bergegas ke rumah sakit yang dimaksud dan menemui seorang polisi didepan pintu Unit Gawat Darurat.
“Apa yang terjadi pak?”
“Adikmu menjadi korban tabrak lari sebuah mobil, dia ditemukan terkapar dijalan raya dengan kepala penuh darah, sekarang sedang ditangani dokter.”
Tak lama dokterpun keluar dan menghampiri kami.
“Pasien sudah ditangani, dan belum sadarkan diri sampai saat ini. Namun, ada hal yang sangat serius akibat tabrakan ini.”
“Apa dok?”
“Kami telah melakukan rontgen dan menemukan bahwa tulang pada tengkorak kepala pasien mengalami keretakan. Beberapa retakan dari tulang tengkorak tersebut mengenai otak pasien, untuk itu saya menyarankan agar pasien segera di operasi, agar kami dapat mengangkat serpihan tulang yang ada disekitar otak pasien.”
“Kalau gitu, segera operasi adikku dok..”
“Maaf sekali nona, kami tidak dapat mengoperasinya begitu saja. Kami perlu persetujuan dari pihak keluarga, dan juga pihak keluarga harus menyelesaikan administrasi rumah sakit terlebih dahulu. Saran saya, nona segera urus pembayaran rumah sakit agar kami dapat mengoperasi adik nona. Bila operasi tidak segera dilakukan, kami takut tulang dari tengkorak adik anda akan menusuk otaknya, dan itu sangat berbahaya sekali untuk keselamatan nyawa adik anda.”


...


Malam itu juga aku segera mendatangi bagian administrasi, dan mendapatkan tagihan senilai 20 juta yang harus segera ku lunasi untuk dapat melakukan operasi pada Lee. Aku berusaha mencari pinjaman ke bibi yang pernah mau mengadopsi Lee, tapi ternyata mereka sekeluarga sedang pergi berlibur. Aku mencoba meminjam pada teman kerjaku dan restoran tempat ku bekerja, tapi hanya 2 juta yang terkumpul, di tambah sisa tabungan dari paman, total yang aku punya saat itu adalah 3 juta, dan masih kurang 17 juta. 2 hari telah berlalu, dan dokter mengatakan bahwa kondisi Lee semakin mengkhawatirkan. Aku kehabisan akal dan frustasi. Lalu akhirnya menjual salah satu ginjalku pada seorang wanita, dengan harga 50 juta.

Setelah menerima uang muka, aku segera membayarkannya pada bagian administrasi. Lee dan akupun di operasi. Aku tidak memikirkan bagaimana nanti aku akan menjalani hidupku dengan 1 ginjal, aku tidak memikirkan bagaimana rasa sakitnya ketika ginjalku di angkat, aku tidak memikirkan apakah aku akan selamat saat operasi atau tidak, tidak aku tidak memikirkan itu. Yang aku pikirkan agar Lee baik-baik saja.

“Lee..cepatlah sembuh..”



to be continue..




Tidak ada komentar:

Posting Komentar