Selasa, 14 Februari 2012

My Little Brother, Please Grow Up

Setelah kepergian ibu, perjuanganku di mulai..

Aku meninggalkan pria brengsek itu tergeletak di lantai, bersimbah darah. Aku berlari kencang keluar rumah sambil menangis. Aku tidak mau dipukul lagi, aku tidak mau di marahi lagi, tidak ada yang akan membelaku lagi. Pria berengsek itu telah memukul ibuku sampai mati. Aku tidak akan kembali padanya.


Langkahku terhenti seketika, sesaat setelah aku teringat adik kecilku yang ku tinggalkan di rumah. Sambil menghela napas yang terpenggal-penggal, aku terus berpikir, apa yang harus ku lakukan. Apakah aku akan melanjutkan lariku, atau kembali pada adikku?!?

My Little Brother, Please Grow Up Part 1..

 
Aku membawa serta adikku, luntah lantah di jalanan. Aku belum memikirkan bagaimana kami akan hidup, dimana kami akan tidur, dan apa yang akan kami makan. Yang ku pikirkan saat itu adalah bebas dari pria yang bisa membunuhku dan adikku.

“Kakak, aku lapar..”
Lee adalah satu-satunya adik laki-lakiku. Dia berumur 5 tahun saat itu, dan aku 10 tahun.
“Ayo kita cari makanan..”
Kami menelusuri tepi jalan raya, dan berhenti di depan toko roti. Lee menelan ludahnya, sesaat setelah memperhatikan seorang ibu dari toko roti tersebut, sedang mengangkut banyak roti manis ke atas nampan yang dipegangnya.

“Kau mauuu?

“Iyaaa...”
“Tunggu disini, aku akan mendapatkannya untukmu..”
“Iyaaaa..”

Aku masuk ke toko roti tersebut, menghirup wanginya kulit roti, melihat indahnya hiasan toping roti. Aku mengambil sebuah roti rasa keju kesukaan Lee, dan hendak membayarnya, tapi aku lupa, aku tak punya uang sepeserpun, jadi aku menaruh roti tersebut ke tempatnya lagi.

“Bibi, apa aku boleh meminta 1 roti mu??” kataku pada seorang bibi cantik, yang tengah membayar setumpuk roti yang dibawanya ke meja kasir.
“Heyyy, sedang apa kau disini nak?” seorang pria galak dari meja kasir, mendorongku.
“Paman, apakah aku bisa meminta 1 roti untuk adikku?”
“Apa kau bilang? Minta?? Nak, di dunia ini tidak ada yang gratis, kalau kau tidak punya uang, kau juga tidak akan punya roti.”

Sekali lagi paman galak itu mendorongku sampai terjatuh, yang membuat kepalaku menghantam besi meja kasir.
“Kau ini, kenapa kasar pada anak kecil?” bibi cantik membelaku, dan si paman galak itu terdiam.
Lee tiba-tiba sudah menangis dibelakangku.
“Tidak apa-apa Lee, jangan menangis..” aku membelai rambut Lee, berusaha menenangkannya.
“Kau tidak apa-apa adik kecil? Ya Tuhan, keningmu terluka..”
“Aku tidak apa-apa, bibi bolehkah aku meminta sepotong roti untuk adikku??”

...


Lee kegirangan dan makan roti dengan lahap. Bibi cantik itu bukan hanya memberi kami sepotong roti, tapi memberi kami sekantung pelastik penuh dengan roti manis.
“Lee, pelan-pelan makannya. Nanti kau tersedak..”
“Kakak, roti ini enak sekali..”
“Benarkah? Kalau begitu, makanlah yang banyak, kenyangkan perutmu..”
“Tapi kakak, keningmu berdarah.”
“Tidak apa-apa, tidak sakit kok..”

Luka ini akan segera mengering, tapi luka dihati ini kurasa tidak akan pernah mengering. Aku tidak tau apakah pria berengsek itu, masih hidup atau sudah mati, setelah kepalanya ku hantam dengan botol bir punyanya. Ahhh, aku tidak peduli. Dari dulu dia tidak berguna, selalu foya-foya, minum-minum, memukul ibu dan aku, jadi dia memang pantas untuk mendapatkan ganjaran yang setimpal.

“Kakak, kapan kita akan pulang??”
“Kita tidak akan pulang Lee.”
“Kalau tidak pulang, kita mau tidur dimana?”
“Dimana saja, asal tidak seatap dengan pria itu.”
“Apa ayah akan menjemput kita?”
“Jangan cari-cari ayah!!! Berbaringlah di pundakku, dan tidurlah, aku akan menjagamu.”
“Iyaaaa..”
Malam itu kami tidur dipinggir jalan dan kedinginan.




to be continue..


 




4 komentar: