Jumat, 17 Februari 2012

Sekotak Kenangan (Part 6)

Di hari minggu, aku janjian dengan Milly, seorang teman kerjaku dulu di restaurant. Kami pergi bersama untuk pergi menonton bioskop. Hari itu, loket bioskop ramai sekali, jadi kami terpaksa mengantri lama.
“Sisi, apa kau sudah pernah coba makan di cafe yang pernah kubilang dulu?”
“Ohhhh.. Cafe Sunday itu, sudah.. aku datang bersama seorang nenek dan makan beberapa pasta disana.”
“Gimana, apa enak makanannya??”
“Mmmm..” aku mengangguk. “Enak sekali, kapan-kapan kita makan bersama yah disana..”
“Baiklah.. kapan-kapan aku akan traktir kau di Cafe Sunday, cafe itu memang terkenal menjual makanan pasta yang enak-enak..”
“Berhentiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii” tiba-tiba seorang gadis yang mengantri tepat dibelakangku, berteriak.

Aku menutup telingaku yang berdenging akibat teriakan gadis itu.
“Nonaaaa, apa yang kau lakukan? Kenapa berteriak di kupingku??”
“Ahhh.. hahaha.. maaf, aku tidak sengaja. Aku menjadi sensitif ketika mendengar nama cafe itu di sebut-sebut.”
“Cafe Sunday maksudmu? Memangnya ada apa dengan cafe itu?”
“Cafe itu menyimpan kenangan yang buruk untukku. Aku pernah memergoki orang yang ku cintai sedang berkencan dengan sahabatku sendiri, di cafe itu.”
“Kasihan sekali, lalu apa yang kau lakukan?” Milly bertanya pada gadis itu.
“Aku mengambil selang dari taman, dan menyiram mereka berdua melalui selang air itu.”
“Apaaaa?? Kapan kejadian itu??”
“Seminggu yang lalu.”
“Apa kau bilanggg?? Jadi kau yang membuat hujan lokal di cafe itu seminggu yang lalu??”
“Kakak, kenapa kau tiba-tiba marah?”
“Keterlaluan sekali.. apa kau tau, saat itu aku sedang ada disana. Aku sedang melipat burung-burungan kertas bersama seorang nenek, dan karna perbuatanmu, burung-burungan kertas yang kami buat basah semua, kau tau itu?? Bukan hanya itu saja, nenek juga basah kuyup karena air yang kukira hujan di cuaca yang sangat panas. “
“Apaa?? Hehe..he..he.. maaf kakak, aku tidak sengaja.”
“Tidak sengaja katamu???”
Aku kesal dan mencopot salah satu sendalku untuk melempar gadis itu. Tapi larinya lebih cepat dari sambitanku. Sungguh terlalu, pantas saja tiba-tiba bisa turun hujan.
 
 ...
Hari ini nenek mengenaliku dan mau kupapah sampai ke rumah. Nenek sangat perhatian padaku, dia sengaja membawakan roti dari rumahnya untukku dan menanyakan tentang keadaanku hari itu. Aku makin menyayangi nenek. Sehabis mengantar nenek, aku kembali ke rumah. Sebenarnya aku malas untuk kerumah, karena harus bertemu dengan pria berengsek itu. Semenjak hari itu, pria berengsek itu tinggal bersama kami. Rumah kami yang kecil terasa tambah sempit semenjak kehadirannya. Meski dia tidak terlihat minum minuman alcohol lagi, tetap saja aku malas melihatnya.

Saat tiba di pintu, aku mendengar suara gaduh dari dalam rumah. Aku bergegas membuka pintu dan masuk ke dalam. Aku melihat pria berengsek itu tengah mencongkel celenganku.
“Apa yang kau lakukannnn???” sekali lagi, aku mendorongnya ke lantai. “Kau mau mencuri uangku??”
“Sisi, tolong berilah aku sedikit uang.”
“Untuk apa memberimu uang. Aku sudah memberimu makan dan membiarkan kau tidur disini, apa masih kurang?? Memangnya untuk apa uang? Ohhh.. pasti kau ingin membeli minuman, ia kan??”
“Tidakkkk.. aku tidak ingin membeli minuman, tolong berilah aku sedikit uangmu.. Kumohonnn..”
Pria berengsek itu mulai berakting menangis dan memohon-mohon padaku.
 
...
“Istrikuuuuuuuuuu.. maafkan akuuuuuuuuu, aku banyak bersalah padamu. Aku telah membiarkanmu menderita.. Aku memang lelaki yang tidak bisa diandalkan. Sekarang aku sadar atas kesalahanku. Anak-anakku membenciku dan tidak pernah menegurku, pasti itu hukuman bagiku yang telah melukai hati mereka. Kumohon maafkan aku..”
Ternyata pria berengsek itu ingin membeli bunga untuk di taburkan ke makam ibu. Karena itu dia membongkar celenganku.
“Percuma saja kau menangis seperti itu. Air mata palsumu itu tidak akan membangunkannya. Kau telah membunuhnya.”
“Sisiiiiiiiiii.. dengarkanlah aku.. aku tidak pernah membunuh ibumu, aku berani sumpah padamu, aku tidak pernah membunuhnya..” Pria berengsek itu berlutut di depanku.
“Tidak membunuhnya katamu? Kau terus minum-minum dan menghamburkan uang yang dicari oleh ibu dengan susah payah. Sakin serakahnya dirimu, ibu sampai tak punya uang untuk berobat ketika ia sakit. Belum cukup sampai disitu, kau bahkan masih memukuliku dan ibu. Apa itu yang kau sebut tidak membunuh??”

Sekalipun pria berengsek itu berkata tidak membunuh ibu, tetap saja dia adalah orang yang paling bertanggung jawab atas kematian ibu. Jadi aku sulit untuk dapat mengampuninya.



to be continue..



Tidak ada komentar:

Posting Komentar