Minggu, 19 Februari 2012

Sekotak Kenangan (Part 15)

Setahun berlalu...

Aku pergi ke makam nenek bersama kakek. Nenek yang akan sangat kurindukan.

“Nenek.. aku datang bersama kakek. Bagaimana kabarmu disana?” aku menaruh bunga di atas makam nenek dan mengusap-usap batu nisannya. “Aku baik-baik saja nek. Lee baru saja dipromosikan di kantornya, ia naik jabatan nek, dan kami bisa membeli rumah yang lebih besar dari yang kami tempati sebelumnya. Dan aku.. aku masih menjaga mini market. Aku sering merindukan kedatangan seorang nenek untuk membeli kertas origami, dan tak bisa membayarnya karena lupa membawa uang. Nenekkk.. aku hidup sangat baik dan bahagia. Karena itu, kau juga harus berjanji padaku, akan hidup bahagia disana.” Aku tak bisa menahan air mataku saat itu. Kesedihan atas kehilangan seorang nenek yang ku anggap keluarga sendiri. Melihat aku menangis, kakek menepuk bahuku untuk menenangkanku.

...

“Kakekkk... ada hal yang ingin kutanyakan padamu.”
“Apa?? Katakanlah..”
“Kenapa kakek mau menunggu nenek, yang jelas-jelas hatinya tidak tertuju pada kakek??”
Kakek tersenyum dan mengusap kepalaku. “Apa hal ini pernah kau tanyakan pada nenek juga? Kalau pernah, pasti kau akan menemukan alasan yang sama denganku.. Kadang seseorang akan menunggu sesuatu dengan sangat sabar, meski kelihatannya apa yang di tunggu itu tidaklah jelas. Tapi itulah yang dinamakan kepercayaan, percaya bahwa apa yang ia tunggu tidak akan sia-sia, entah itu menghasilkan sesuatu yang baik atau buruk. Tidak peduli, seberapa keras orang akan mencoba untuk menyuruh kami untuk mundur, itu tidak akan berhasil, karena yang dapat menghentikan langkah kami adalah kami sendiri. Walau kelihatan seperti orang bodoh, kami juga manusia, yang jika lelah, kami akan berhenti, dan jika belum lelah, kami akan terus..”

...
 
Aku berhenti di depan toko roti, tempat aku dulu pernah meminta roti pada seorang wanita. Toko roti itu tidak banyak berubah, masih sama seperti dulu, hanya saja aku tidak melihat pria galak yang pernah memarahiku di meja kasir. Aku memperhatikan seorang ayah yang tengah memarahi anak laki-lakinya di depan toko roti.
 
“Ampunnn ayahhhh... ampunn ayahhh..” anak itu menangis ketika di pukul oleh ayahnya, karena telah membuang roti-roti yang diberikan oleh ayahnya.
“Kau ini, selalu menyia-nyiakan roti. Kalau kau seperti ini terus, kau akan menyesal saat kau sudah tidak punya roti lagi.”
Kelakuan pria itu mengingatkan aku pada pria berengsek yang sering memukulku ketika kecil.
“Ayah.. dimana dia sekarang??”

...

Aku menemuinya ke alamat yang diberi Lee padaku, sebuah panti jompo. Ayah merasa aku begitu menolaknya. Ia meminta pada Lee untuk menaruhnya ke panti jompo, agar tidak menyusahkan kami lagi. Aku melihatnya sedang bernyanyi dengan teman-teman pantinya yang sudah tua. Dari balik dinding aku mengintipnya dan merasa sangat menyesal. Aku berlutut, bersandar pada dinding dan menangis.

Setahun sudah dia tinggal disini, tapi aku tidak memperdulikannya. Ginjalnya ada bersama di tubuhku, tapi aku tetap membencinya. Aku sungguh keterlaluannnn...

“Heyyyy... siapa gadis ini?? Kenapa menangis disini nak?”
Seorang pria tua menunjukku dan berteriak memanggil teman-temannya untuk keluar melihatku.
“Sisiiiiiii.. apa yang kau lakukan disini??” ayah mendapatiku dan memapahku untuk berdiri.
“Ayahhhhhhhhhhhhhhhhhhh...” untuk pertama kalinya, aku memeluk ayahku.
“Ayah disini nak, apa yang kau tangiskan??”
“Maafkan aku.. aku telah jahat padamu. Aku terlalu membencimu dan begitu keras kepala untuk tidak memaafkanmu.”
“Tidak apa nak, aku tau kalau aku sangat melukaimu waktu dulu. Aku memang pantas diperlakukan seperti itu.”
“Tidak ayahhhh.. aku yang seharusnya minta maaf padamu. Semua orang bisa berbuat salah, seharusnya aku tau itu. Maafkan akuuuu..”
“Sudahhh.. Sudahhh.. jangan di ingat-ingat lagi, yang penting kau telah memaafkan aku. Dan aku juga sudah memaafkanmu..”

Aku telah memaafkan ayah dan hubungan kami menjadi baik. Meski banyak goresan luka yang pernah ayah torehkan di hidupku, tapi ayah tetaplah ayah, sekalipun aku berlari ke ujung dunia, status itu tidak akan berubah. Benar kata Jack, manusia seringkali hanya mengingat pada rasa lukanya saja, bukan pada hal apa yang dapat ia pelajari saat terluka. Manusia kerap kali menyesal saat ia telah kehilangan. Dan aku tidak ingin menjadi salah satu dari manusia tersebut.


Setelah pertemuan nenek dengan pria yang ia tunggu-tunggu itu. Nenek meminta maaf pada kakek, karena telah membuatnya menunggu. Nenek selama ini terlalu fokus pada masa lalunya dan mengabaikan masa yang ia jalani saat itu. Kakek tentu memaafkannya, karena bagi kakek, semua orang berhak memiliki memori yang disimpan dalam hati mereka masing-masing.
 
Seperti memoriku pada ayah yang begitu menyedihkan saat dulu. Aku telah memutuskannya untuk menyimpan memori tersebut kedalam sebuah kotak.

 Sekotak kenangan ku tutup rapat-rapat, biarlah apa yang pernah terjadi kusimpan hanya untuk pengingat bukan sebagai pembuat keputusan untuk menyesal..

~(_'_)~Finish~(_'_)~




Tidak ada komentar:

Posting Komentar